• Nasional

Persoalan Persyaratan Usia Calon Presiden dalam Pemilu 2024: Antara Hukum dan Politik

Charles Siahaan | Sabtu, 04/11/2023 12:36 WIB
Persoalan Persyaratan Usia Calon Presiden dalam Pemilu 2024: Antara Hukum dan Politik Ilustrasi Sidang MK

Beritasulbar.com - Pemilu 2024 di Indonesia menjadi sorotan tajam seiring dengan perdebatan mengenai persyaratan usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa calon presiden dan wakil presiden harus berusia paling rendah 40 tahun atau pernah menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah telah memunculkan perdebatan intens di masyarakat. Artikel ini akan mengupas berbagai aspek yang muncul seputar masalah ini.

Keputusan MK mengenai persyaratan usia capres dan cawapres mengundang pro dan kontra yang kuat di masyarakat. Alasan di balik keputusan ini adalah untuk memastikan calon-calon tersebut memiliki pengalaman dalam kepemimpinan, yang seharusnya menjadi persyaratan utama bagi seseorang yang akan memimpin negara. Namun, pandangan ini tidak diterima oleh semua pihak.

Elemen masyarakat yang pertama, yang juga sering kali disebut sebagai aktivis idealis, menyoroti bahwa persyaratan usia ini mungkin membatasi partisipasi generasi muda dalam politik. Mereka berpendapat bahwa kebijakan ini dapat membatasi hak politik kaum muda yang mungkin memiliki gagasan segar dan visi berbeda untuk kemajuan negara. 

Namun, elemen kedua, yang meragukan kebenaran di balik putusan MK, merasa bahwa persyaratan usia ini dimunculkan untuk menghambat peluang calon tertentu. Munculnya spekulasi mengenai operasi rahasia menjegal Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, sebagai calon wakil presiden, menciptakan ketidakpercayaan terhadap integritas MK dalam memutuskan perkara ini.

Upaya yang paling utama dari elemen masyarakat yang tidak puas dengan keputusan MK adalah untuk membatalkan putusan tersebut. Namun, hal ini terbukti sangat sulit, mengingat putusan MK bersifat final dan mengikat. Putusan MK harus dihormati dan diterapkan, sekalipun tidak semua pihak setuju.

Elemen masyarakat yang meragukan keputusan MK mencoba mendekati Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dengan laporan dugaan pelanggaran etika hakim konstitusi. Meskipun MKMK tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan putusan MK, upaya ini mencerminkan dinamika politik yang intens yang tengah berlangsung di Indonesia. Mereka berharap bahwa jika hakim konstitusi terbukti melakukan pelanggaran etika, maka putusan MK juga bisa dibatalkan.

Selain upaya membatalkan putusan MK, elemen masyarakat yang tidak puas juga mencoba delegitimasi politik terhadap MK. Meskipun upaya ini lebih bersifat retorika daripada langkah hukum, hal ini menciptakan keraguan di kalangan masyarakat terhadap otoritas MK.

Namun, penting untuk diingat bahwa dalam sistem hukum Indonesia, putusan MK bersifat final dan mengikat. Delegitimasi politik hanya akan menciptakan perpecahan di masyarakat tanpa memiliki dampak langsung pada putusan MK.

Perdebatan mengenai persyaratan usia capres dan cawapres dalam Pemilu 2024 mencerminkan kerumitan politik dan hukum di Indonesia. Upaya untuk membatalkan putusan MK atau delegitimasi politik terhadapnya mencerminkan dinamika politik yang intens yang tengah berlangsung. Namun, perlu diingat bahwa putusan MK memiliki kekuatan hukum yang harus dihormati dan diterapkan. Seiring berjalannya waktu, diharapkan bahwa masyarakat Indonesia dapat mencapai konsensus yang lebih baik dan memperkuat fondasi demokrasi mereka untuk masa depan yang lebih baik.

Terpopuler

Selengkapnya >>

FOLLOW US